get app
inews
Aa Text
Read Next : Jadwal Kapal Pelni Surabaya-Balikpapan Februari 2025: Info Lengkap Harga Tiket & Cara Pemesanan

7 Juni 1922, Kisah Terbunuhnya Para Sherpa Penanda Kematian Pertama di Gunung Everest

Rabu, 07 Juni 2023 | 17:48 WIB
header img
Ilustrasi Gunung Everest. (Instagram/@galihdonikara)

GARUT, iNewsIndramayu.id - Hari ini 101 tahun lalu, tepatnya 7 Juni 1922 silam, sebanyak tujuh orang kuli angkut atau sherpa tewas di Gunung Everest. Para sherpa asal Nepal itu meregang nyawa dalam Ekspedisi Inggris kedua yang dipimpin oleh Charles G Bruce dalam sebuah upaya menaklukan Gunung Everest. 

Kisah ekspedisi tersebut diceritakan dengan baik dalam buku The Assault On Mount Everest 1922 yang ditulis oleh Charles G Bruce sendiri dan sejumlah anggota ekspedisi lainnya. Salah satu kontributor dalam buku, George Herbert Leigh Mallory, menceritakan secara detail peristiwa kematian tujuh sherpa yang menjadi kuli angkut oleh longsoran salju di bawah kol utara (North Col) tersebut. 

George Mallory dapat dengan leluasa menggambarkan kejadian itu karena dia ikut serta dalam ekspedisi tersebut. Ia merupakan salah satu korban dari sekian banyak pendaki yang selamat di peristiwa longsor itu. 

Peristiwa longsor ini tertulis pada Bab X yang menceritakan upaya ketiga ekspedisi ini mendaki Gunung Everest. Saat itu, rombongan yang diikuti George Mallory dikomandoi oleh Dr Howard Somervell. 

"Somervell hanya maju 100 kaki, lebih ke atas lereng daripada menyebranginya, dan rombongan kuli angkut terakhir baru saja mulai bergerak ke atas. Pemandangan itu sangat cerah dan tak berangin, dan karena kami jarang berbicara, tidak ada yang terdengar selain paru-paru kami yang terengah-engah," tulis George Mallory sebelum longsor salju menerjang rombongan mereka.

"Keheningan ini tiba-tiba terganggu. Kami dikejutkan oleh suara yang tidak menyenangkan, tajam, menawan, keras, namun entah bagaimana lembut seperti ledakan bubuk mesiu yang tidak dijinakan," lanjutnya. 

Ia mengungkapkan jika suara itu tak pernah didengarnya selama berada di sisi gunung tersebut. Sejenak George Mallory kemudian melihat permukaan salju beberapa meter sebelah kanan tempatnya berada tampak pecah dan mengerut. 

Spontan dia bergerak untuk menyelamatkan diri saat tahu dirinya dan rombongan dalam bahaya. Namun usaha tersebut sia-sia karena tubuhnya secara perlahan terbawa oleh permukaan salju yang mulai bergerak ke arah bawah. 

"Untuk satu atau dua detik saya tampaknya hampir tidak berada dalam bahaya, ketika saya meluncur dengan tenang bersama salju. Kemudian tali di pinggangku menegang dan menahanku. Gelombang salju menghampiri saya dan saya terkubur," ungkapnya.

George Mallory kemudian berhasil keluar dari situasi yang membuatnya terkubur hidup-hidup dalam timbunan salju. Dengan melakukan gerakan layaknya seseorang yang sedang berenang, dia dapat kembali ke atas permukaan salju. 

Ia kemudian menyadari, jika para sherpa yang telah lebih dahulu berada di depan juga mengalami hal sama sepertinya. "Tapi saat kami bergegas turun, bahwa di bawah tempat keempat kuli itu berdiri, ada jurang yang mencengangkan, terlalu jelas bahwa orang-orang yang hilang telah tersapu," katanya. 

"Seorang pria dengan cepat ditemukan dan ditemukan masih bernapas. Tak lama kemudian kami yakin dia akan hidup. Orang lain di dekatnya yang kami gali telah terbunuh karena jatuh. Dia dan rombongannya tampak telah menabrak bibir bawah jurang yang keras," sambungnya.

Ironisnya, George Mallory kemudian dinyatakan hilang bersama rekannya, Andrew Irvin, di gunung tertinggi dunia itu dua tahun kemudian pada1924, saat Ekspedisi Inggris Ketiga digelar. Jenazahnya kemudian ditemukan puluhan tahun kemudian pada Tahun 1999, dengan kondisi beberapa bagian anggota tubuh terawetkan. 

Melansir Wikipedia, ketujuh pria Nepal yang tewas saat berperan menjadi kuli angkut dalam Ekspedisi Inggris Kedua tahun 1922 itu adalah Dorje, Lhakpa, Norbu, Pasang, Pema, Sange dan Temba. Peristiwa longsor yang membunuh mereka tercatat sebagai kematian pertama pendaki di Gunung Everest. 

Dari informasi yang dihimpun, kematian dalam upaya menaklukan puncak Everest telah mencapai ebih dari 300 orang sejak 7 Juni 1922 hingga 7 Juni 2023. Kasus kematian di Gunung Everest terakhir terjadi pada bulan lalu, 25 Mei 2023, yakni saat seorang pendaki bernama Lakpa Nuru Sherpa dinyatakan lenyap saat mendaki.

Di akhir tulisannya dalam buku, George Mallory menuliskan tentang kesimpulan dari seluruh upaya pendakian Gunung Everest itu pada Bab XI. Dia memfokuskan tulisannya pada aklimatisasi bagi seorang pendaki gunung, pengaruh pengerahan tenaga di ketinggian saat proses pendakian, pentingnya penggunaan oksigen saat mendaki, serta perlengkapan yang harus digunakan saat mendaki. 

Aklimatisasi atau proses adaptasi penyesuaian fisiologis di Gunung Everest memang menjadi hal paling menyulitkan bagi sebagian pendaki di dunia. Terlebih, adaptasi itu harus dihadapi para pendaki yang berasal dari daerah tropis seperti Indonesia yang tidak pernah merasakan suhu minus di bawah nol derajat.


Pendaki senior EIGER Adventure Service Team (EAST) Galih Donikara. (Fani Ferdiansyah/MPI)

Galih Donikara, salah satu pendaki dari kalangan sipil yang pernah menapaki Gunung Everest pada 1997 bersama Kopassus dan berbagai kelompok pecinta alam Indonesia, mengungkapkan pentingnya aklimatisasi sebelum menaklukan permukaan tanah tertinggi di dunia kala itu. 

Ia menilai Ekpedisi Kopassus-Indonesia Everest 1997 tidak akan terlaksana jika tubuh para pendaki belum terbiasa dengan suhu dingin dan rendah oksigen. Demi menyukseskan prestasi itu, ia dan 29 orang pendaki melakukan latihan sekaligus seleksi langsung di Gunung Everest. 

"Siapapun diwajibkan untuk melakukan aklimatisasi. Untuk loncatan persiapan tinggal di lokasinya. Jadi mendaki gunung es latihannya di gunung es. Kita selama enam bulan berlatih di gunung es. Dari ketinggian 5.000 ke 6.000 (meter)," kata Galih Donikara, pada MNC Portal Indonesia (MPI) belum lama ini.

Sebelum dikirim ke Himalaya, Galih Donikara beserta ke-29 orang sempat menjalani latihan di training center Mako Kopassus Cijantung, serta sejumlah gunung Indonesia. Saat berada di Himalaya itulah, mereka menjalani seleksi secara langsung. 

"Dari 30 tersaring 16 orang. Ke-16 orang ini terdiri dari 10 tentara (Kopassus) dan enam orang sipil. Yang sipil itu dari Wanadri, Mapala UI, Rakata, FPOK IKIP Jakarta, dan FPTI," tutur Galih Donikara yang kala itu mewakili Wanadri. 

Pria yang kini aktif sebagai pendaki senior EIGER Adventure Service Team (EAST) itu menceritakan bahwa proses menaklukan puncak Himalaya tidak terjadi secara instan meski telah berlatih selama berbulan-bulan. 

"Kurang lebih 40 hari tinggal di kawasan Everest itu. Mulai perjalanan turun naik dari satu camp ke camp lainnya. Secara bertahap hingga di ketinggian 7.000 (meter). Usai terbiasa di ketinggian 7.000, kami turun lagi ke daerah yang lebih rendah, sebelum kemudian summit attack," katanya. 

Para pendaki Indonesia saat itu dibekali tabung oksigen untuk dapat melalui death zone. Proses pendakian sendiri dipilih pada malam hari, atau saat kondisi es dan salju masih stabil.

"Apakah ketika sampai puncak itu tantangan sudah selesai? Justru belum, tantangan sebenarnya adalah saat kita menuruni gunung," ucapnya. 

Gunung dengan puncak tertinggi di dunia, 8.848 meter, tersebut akhirnya dapat ditaklukan pada 26 April 1997 oleh regu yang mengambil jalur selatan. Summit attack yang mengukir sejarah Indonesia kala itu berhasil dilakukan oleh Pratu Asmujiono, Sertu Misirin, dan Letnan Satu Iwan Setiawan. (*) 

Editor : Tomi Indra Priyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut