GARUT, iNewsIndramayu.id - Keluarga Wildatul Muzjalipah (19) diminta untuk tidak membayar sisa tunggakan sumbangan ke SMAN 6 Garut. Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi V DPRD Jawa Barat Enjang Tedi, saat mengetahui keluarga Wilda berasal dari kalangan tidak mampu.
"Jika masih ada sisa tunggakan, tidak usah dibayar," kata Enjang Tedi, saat dihubungi iNews.id Minggu (28/5/2023).
Enjang bahkan meminta agar SMAN 6 Garut mengembalikan uang yang telah dibayarkan orang tua Wilda dengan cara mencicil. Dari informasi yang diterimanya, selama Wilda bersekolah, orang tuanya telah membayar Rp1,75 juta.
"Itu uang yang sudah dibayarkan justru harus dikembalikan. Tidak boleh juga meski misalnya mereka diberi kebijakan untuk membayar setengah. Keluarga Wilda dalam hal ini adalah orang yang seharusnya menerima manfaat, menerima sumbangan, bukan memberi sumbangan," ujarnya.
Ia menjelaskan, sumbangan yang diberlakukan pada setiap penerimaan siswa baru harus bersifat sukarela. Nilai yang diberikan dalam sumbangan pun tidak boleh dipatok.
"Kalau dipatok, disamaratakan, namanya iuran. Bukan lagi sumbangan," ucapnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini membeberkan aturan mengenai sumbangan yang diberlakukan di sekolah. Penarikan dana sumbangan tidak boleh dilakukan oleh sekolah, melainkan komite sekolah.
"Ada aturannya, diatur dalam Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), silakan dicek," katanya.
Dilansir dari laman Kemendikbud.go.id, peraturan yang dimaksud adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, tentang Komite Sekolah mengatur batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan komite sekolah.
Dalam aturan tersebut, komite sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana berupa sumbangan pendidikan, bantuan pendidikan, dan bukan Pungutan. Pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat (1), dijelaskan bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Kemudian pada pasal 10 ayat (2), disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
"Kalau ada pelanggaran, jelas melanggar Permendikbud. Sekali lagi, besaran sumbangan yang ditetapkan, namanya bukan lagi sumbangan, tapi iuran," ujarnya.
Ia pun menyoroti soal langkah pelaporan yang harus dilakukan ke aparat kepolisian. Menurutnya, pihak sekolah wajib mendampingi orang tua Wilda saat membuat laporan ke polisi guna mendapat surat kehilangan.
"Sekolah harus mendampingi keluarga Wilda saat melapor. Sebab hilangnya ijazah ini terjadi di sekolah, saat sekolah memberikan ijazah Wilda pada orang yang tidak diketahui identitasnya," kata Enjang Tedi.
Untuk diketahui, ayah Wilda, Koswara (51), merupakan petugas kebersihan yang memiliki penghasilan tak menentu di lingkungan mereka tinggal, Kampung Mekarwangi RT03 RW12, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. Di perkampungan tersebut, keluarga Wilda mengontrak rumah petak berkondisi memprihatinkan.
Selain sebagai petugas kebersihan, ayah Wilda yang merupakan tamatan SD itu juga bekerja menarik becak motor di Pasar Guntur Ciawitali Garut, setiap hari mulai pukul 02.00-06.00 WIB.
Koswara kemudian menceritakan soal tunggakan yang harus ia bayar ke sekolah. Saat Wilda lulus, ia tak berani mengambil ijazah karena merasa masih memiliki tunggakan yang belum dibayar, yaitu sebesar Rp3,25 juta.
Tunggakan ini merupakan sisa dari uang sumbangan yang totalnya mencapai Rp5 juta. Uang tersebut harus dibayar saat Wilda masuk mendaftar ke SMAN 6 Garut.
"Namun karena saat itu saya melampirkan keterangan bahwa kami berasal dari keluarga tidak mampu, ada kebijakan dari sekolah bahwa sumbangan yang harus dibayar jadi setengahnya saja, yaitu Rp2,5 juta. Karena saya tidak punya cukup uang, saya memilih mencicil dan akhirnya menunggak," kata Koswara.
Namun alangkah kagetnya, setelah anaknya masuk sekolah, tagihan uang sumbangan itu tetap sebesar Rp5 juta. Potongan yang dijanjikan di awal-awal seolah tak berlaku.
"Saya sudah meminta dan mempersilakan pihak sekolah untuk datang ke rumah, mengecek kontrakan rumah kami. Tapi sejak Wilda kelas 1 hingga lulus kelas 3, tidak ada yang datang melihat kondisi keluarga kami. Tagihan tetap Rp5 juta, hingga saya pasrah dan berusaha mencicil. Yang sudah dibayarkan Rp1,75 juta, jadi tinggal Rp3,25 juta lagi," ungkapnya. (*)
Editor : Tomi Indra Priyanto
Artikel Terkait