INDRAMAYU, iNewsIndramayu – Abdul Koni, seorang seniman Monolog dari Indramayu, telah menempuh perjalanan yang panjang dalam dunia seni peran. Dikenal dengan ciri khas penggunaan topeng dalam setiap penampilannya, Koni berbagi kisah inspiratif mengenai bagaimana seni monolog menjadi jalan baginya untuk menaklukkan ketakutan dan membangun kepercayaan diri.
Abdul Koni bukanlah sosok yang langsung merasa nyaman berada di panggung. Sebagai seorang pemuda yang pemalu, ia sering kali merasa canggung saat harus berinteraksi dengan banyak orang.
“Saya dulu itu pendiam, kalau ketemu orang sering lari, bahkan nggak percaya diri,” kenangnya.
Meskipun demikian, ia tetap memilih untuk mendalami seni teater, meski awalnya justru menghadapi tantangan yang sama, yaitu harus sering berkumpul dengan banyak orang.
Keputusannya untuk menempuh pendidikan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dan Sekolah Tinggi Kesenian Gilang Kencana di Bogor adalah upaya seriusnya untuk meraih pendidikan formal dalam seni teater. Namun, kedua usahanya tersebut berakhir dengan kegagalan.
“Sekolah seni dua-duanya gagal semua,” ujar Koni.
Meskipun demikian, Koni tidak menyerah. Ia melanjutkan pendidikan dan berhasil lulus dari D-3 Pariwisata di Universitas Mercu Buana.
Namun, meski pendidikannya bergeser ke bidang pariwisata, hasratnya terhadap seni teater tidak pernah padam. Keinginannya untuk terus berkarya di bidang seni membawanya ke jalur pengajaran, di mana ia mengajar di SMK Lelea dan sebuah SMP, meski akhirnya beralih ke mengajar Bahasa Indonesia setelah melanjutkan studi lagi di STKIP Yasika Majalengka.
Abdul Koni menemukan bahwa monolog, sebuah bentuk seni yang sering kali dilakukan dalam kesendirian, memberikan jalan baginya untuk menghadapi rasa malu yang selama ini menghalanginya. Salah satu inovasi terbesar Koni adalah penggunaan topeng dalam setiap pertunjukan monolognya. Topeng menjadi alat yang membantunya mengatasi ketidaknyamanan pribadi dan mengeksplorasi karakter-karakter dengan lebih mendalam.
“Topeng memungkinkan saya untuk menghidupkan berbagai karakter dalam satu pertunjukan, memperluas ruang ekspresi dan menangkap esensi masing-masing karakter dengan lebih dalam,” jelas Koni.
Inovasi ini tidak hanya membantu dirinya tetapi juga menginspirasi para siswa yang dia ajar. Bagi siswa-siswa yang pemalu, topeng menjadi alat yang membantu mereka menampilkan karakter tanpa harus merasa terpapar langsung di hadapan audiens.
Kesepian, bagi Abdul Koni, bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Sebaliknya, ia menemukan kedamaian dan inspirasi dalam momen-momen kesendirian, di mana ia bisa merenung dan menggali karakter-karakter yang akan ia mainkan.
“Biasanya saya lebih suka sendiri. Latihan dulu, masing-masing punya ide segala macam. Makanya lebih asik sendiri deh,” ungkapnya.
Puncak dari perjalanan kreatif Koni tercermin dalam keberhasilannya membimbing siswa-siswa dalam kompetisi monolog. Pada tahun 2021, salah satu muridnya, Kaisa, berhasil meraih juara pertama dalam kompetisi monolog di ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat kabupaten dan melanjutkan ke tingkat provinsi. Keberhasilan ini, menurut Koni, adalah hasil dari proses kreatif yang panjang dan dedikasi tanpa henti, baik dari dirinya maupun para siswa yang dibimbingnya.
Namun, Koni menyadari bahwa seni monolog di Indramayu masih membutuhkan perhatian lebih. “Monolog di Indramayu itu cuma hidup pada saat lomba FLS2N. Saya berharap kegiatan monolog itu bisa berjalan seterusnya, nggak cuma nunggu momen,” harapnya.
Abdul Koni tidak hanya berhasil mengatasi tantangan pribadinya, tetapi juga mengangkat seni monolog di Indramayu ke tingkat yang lebih tinggi. Pendekatannya dalam seni telah membuktikan bahwa kesunyian dan rasa malu bisa diubah menjadi sumber kekuatan dan kreativitas yang luar biasa.
Editor : Tomi Indra Priyanto
Artikel Terkait