KUNINGAN,iNewsIndramayu.id - Program Penguatan Pemerintah dan Pembangunan Desa (P3PD) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, telah berjalan lebih kurang selama 3-4 bulan. Program yang dilaksanakan atas dasar kerja sama Kemendes dan Lakpesdam PBNU, memiliki perspektif bahwa setiap orang adalah sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.
Oleh sebab itu, setiap warga desa harus diperlakukan atau memperoleh perlakukan sama dalam pelenggaraan dan pelayanan kemasyarakatan desa. “Setiap orang yang berada dalam kesatuan wilayah adalah bagian dari kesatuan masyarakat desa, merupakan subjek yang punya hak dan kewenangan sama dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat,” kata Koordinator P3PD Kuningan, Okky Ayu Setyowati dalam keterangan persnya, Kamis (4/5/2023).
Menurutnya, perangkat desa maupun kepala desa dan BPD serta masyarakat sebagai penopang desa, secara sosial politik harus bersedia secara sukarela terlibat dalam urusan hidup bersama yakni gotong royong. Gotong royong sebagai kesediaan seluruh elemen desa untuk terlibat dalam urusan hidup bersama, dilakukan dengan melakukan kesepakatan/mufakat atau konsensus antara warga desa dengan pemerintahan representatif yang dibentuknya.
“Jadi seorang kepala desa terpilih selanjutnya tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewenangan. Masyarakat desa juga bertanggungjawab untuk terus berpartisipasi mengawal pelaksanaan pemerintahan desa dan mekanisme pembangunan desa,” ungkapnya.
Dia menyebut, salah satu peran masyarakat desa adalah memastikan kebijakan kepala desa yang inklusif. Semboyan SDGs Desa adalah desa untuk semua warga atau desa suarga.
“Semboyan tersebut mencerminkan nilai inklusi, yaitu nilai pengakuan dan penghormatan kesetaraan hak setiap warga dan ketersesdiaan ruang bagi setiap warga untuk berpartisipasi aktif. Keterlibatan aktif masyarakat merupakan prasyarat praktik pelaksanaan demokratisasi desa,” ujarnya.
Maka, lanjutnya, seyogyanya dapat dimaknai jika demokratisasi desa tidak hanya terbatas pada tersedianya lembaga dan prosedur demokrasi. Melainkan lebih pada peningkatan kesadaran warga desa, untuk terlibat aktif dalam tata kelola pemerintahan desa dan tata kelola Pembangunan desa.
“Tingkat kesadaran kolektif warga desa menentukan kualitas partisipasi warga desa sebagai modal sosial. Dengan demikian, penyelenggaraan desa dipahami sebagai proses konstruksi sosial atau strukturisasi sosial, yang unsurnya adalah adanya aturan hukum dan nilai-nilai sosial moral (struktur) serta para pihak (pemerintahan desa dan masyarakat) yang melakukan tindakan (subjek pelaku) dari aturan hukum desa sebagai konsensus kolektif,” bebernya.
Maka dari itu, Ia memaparkan, jika sekolah lapang merupakan pilihan model pembelajaran bagi masyarakat desa, demi meningkatkan kapasitasnya sebagai subyek sekaligus sumber daya manusia dalam mendorong dan menguatkan penyelenggaraan desa inklusif.(*)
Editor : Tomi Indra Priyanto