CIREBON, iNeswIndramayu.id-Melalui bahtsul masail kubro, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jabar akan menggugat soal relevansi Undang-Undang (UU) terkait batas usia anak di bawah umur.
Sekretaris LBM PWNU Jabar, Kiai Afif Yahya Aziz menjelaskan, hukum peradilan anak menjadi polemik di masyarakat tepatnya tentang batas usia anak di bawah umur. Banyak sekali kasus besar dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, namun karena oleh UU Pidana masih kategori anak, maka seringkali dibebaskan.
"Hanya diberi pembinaan, dikembalikan kepada orang tua atau mendapat hukuman yang ringan. Padahal perbuatan itu berakibat fatal dan sangat meresahkan," kata Kiai Afif dalam keterangan yang diterima pada Selasa (22/8/2023).
Ketua Panitia Bahtsul Masail Kubro ini juga menjelaskan, tindak kejahatan oleh anak semakin menghawatirkan dan meresahkan masyarakat, pola asuh dan pergaulan yang semakin jauh dari norma-norma agama dan adat, semakin memperparah keadaan tersebut. Mulai dari tindak kejahatan narkoba, pelecehan, penyerangan dan pembunuhan tidak sedikit yang melibatkan anak di bawah umur.
Bahkan, kata dia, berdasarkan data Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang dihimpun BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) yang dilansir oleh satu media nasional, selama 2020-2022, terdapat 2.304 kasus kejahatan pelaku anak. Jumlah itu terdiri, pencurian sebanyak 838 kasus, narkoba sebanyak 341 kasus, penganiayaan sebanyak 232 kasus.
Selanjutnya, kasus senjata tajam sebanyak 153, pencabulan atau pelecehan sebanyak 173 kasus, pembunuhan sebanyak 48 kasus, pemerkosaan sebanyak 26 kasus, dan lain-lain seperti pornografi, perlindungan anak, penipuan, pengancaman dengan kekerasan, penadahan, laka lantas, pengrusakan, penyelundupan, penggelapan serta lainnya, sebanyak 491 kasus.
Secara undang-undang dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pengertian anak berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
"Dan terkait umur minimal yang masuk dalam kategori anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun sebagaimana diputusan MK. Itu artinya kisaran umur dalam kategori anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum mulai dari 12 tahun sampai 18 tahun kurang," tandasnya.
Di sisi lain, lanjut dia, penetapan umur maksimal “belum berusia 18 tahun” sebagai tolok ukur kategori anak sebagaimana dalam UU di atas, oleh sebagian masyarakat dianggap terlalu tinggi karena anak zaman sekarang dinilai berbeda dengan anak zaman dulu. Sikap masyarakat tersebut tentu bukan tanpa alasan, secara empiris memang dewasa ini tindak kejahatan oleh anak semakin marak di berbagai daerah.
Satu contoh pengaruh penetapan usia 18 tahun, kasus penganiayaan berat kepada David Ozora yang melibatkan seorang perempuan berinisial AG. Dalam kasus tersebut AG bersalah turut serta melakukan penganiayaan berat terhadap korban anak David Ozora.
Atas vonis tersebut, hakim tunggal peradilan anak Sri Wahyuni Batubara menghukum perempuan 15 tahun tersebut dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan. Karena faktor anak di bawah umur.
Selain faktor di bawah umur, Hakim juga mempertimbangkan kondisi orang tua AG yang membesarkan putrinya dalam keadaan sakit.
Sehingga dalam kasus ini AG dijerat dengan dijerat Pasal 76 C juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak dan atau Pasal 355 ayat (1) juncto 56 subsider 353 ayat (1) subsider 351 ayat (2) KUHP. "Untuk kategori tindak kejahatan yang sama, hukuman tersebut tentu jauh lebih ringan dari kategori pelaku dewasa," ungkapnya.
Keringanan-keringanam terhadap terdakwa kejahatan oleh anak ini, kata dia, secara jelas memang telah diatur di dalam UU Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Dan banyak pasal yang menjadi sorotan.
Melihat fakta empiris sebagaimana dalam deskripsi tersebut, maka pihaknya dalam bahtsul masail kubro yang bakal digelar di Ponpes KHAS Kempek Cirebon, pada Kamis (24/8/2023) nanti, para peserta bakal membahas dengan mempertimbangkan teori-teori fiqhul Islam, masih sesuaikah menetapkan umur kategori anak dengan “belum berusia 18 tahun” untuk dimasukkan ke dalam peradilan anak?
"Selanjutnya, dalam kajian fikih, apa saja tolok ukur disebut anak dan atau dewasa yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum pidana? Lalu bagaimanakah bentuk hukum pidana untuk pelaku kategori anak dalam pandangan fikih?" pungkasnya. (*)
Editor : Tomi Indra Priyanto
Artikel Terkait