JAKARTA, iNewsIndramayu.id - MENGAPA pencoblosan pemilu di Indonesia masih menggunakan paku? Pertanyaan ini lumrah ditanyakan masyarakat menjelang Pemilu 2024. Hal ini karena pencoblosan menggunakan paku sudah sangat ketinggalan zaman.
Sebagian besar negara di dunia saat ini telah beralih ke sistem pencoblosan dengan menggunakan pulpen dengan cara dicentang. Di beberapa negara bahkan sudah menerapkan e-voting.
E-voting ini merupakan sistem pemilihan suara yang menggunakan perangkat elektronik sebagai pirantinya. Negara-negara seperti Estonia, India hingga Filipina telah menerapkan ini. Bahkan negara-negara yang lebih maju telah menerapkan internet voting sehingga warganya tidak perlu berkumpul di TPS untuk menggunakan hak suaranya.
Pertanyaannya, mengapa pencoblosan Pemilu di Indonesia masih menggunakan paku?
Melansir berbagai sumber, Kamis (01/02/2024) cara pemungutan suara dengan mencoblos menggunakan paku telah ada sejak zaman Presiden Soeharto. Paku menjadi alat yang paling sering digunakan untuk pemilu karena sangat mudah dimanipulasi.
Seperti diketahui, pada zaman Presiden Soeharto, hanya ada tiga partai yang ikut kontestasi, yakni PPP, PDIP, dan Golkar. Dan pada zaman itu, semua hal dilakukan agar Golkar menjadi partai yang memenangkan pemilu.
Saat ada masyarakat yang tidak mencoblos partai Golkar, maka para petugas akan menusuk surat suara itu di bagian lain agar surat suaranya tidak sah. Dengan begitu, kendati banyak yang tidak memilih, Golkar akan selalu menjadi pemenangnya.
Karena telah menjadi kebiasaan melakukan pemilu dengan paku sejak dulu, hal ini menjadi sangat sulit dirubah di Indonesia. Pasalnya, masih banyak masyarakat Indonesia berpendidikan rendah yang kurang paham sistem pemilihan selain paku, baik itu centang menggunakan pulpen ataupun dengan media elektronik.
Seperti halnya yang terjadi pada Pemilu 2004 dan 2009. Pada masa itu, pemerintah sudah mengupayakan pemilu dilakukan dengan menggunakan pulpen. Namun hasilnya sangat kacau. Masyarakat masih banyak yang tidak memahami metode tersebut sehingga banyak sekali surat suara yang tidak sah.
Akibat hal itu, pada Pemilu 2014 KPU menyediakan dua perangkat di dalam bilik, yakni pulpen dan paku. Namun pada pelaksanaannya, kedua benda ini digunakan untuk fungsi yang sama, yakni membolongi surat suara.
Tingkat pendidikan yang rendah dan kebiasaan masyarakat mencoblos menggunakan paku juga membuat e-voting sulit diterapkan. Pasalnya, e-voting ini jauh lebih sulit untuk dipahami bagi masyarakat berpendidikan rendah dibandingkan dengan pemungutan suara dengan pulpen.
Pada intinya, alasan utama pencoblosan Pemilu 2024 di Indonesia masih menggunakan paku adalah karena belum siapnya masyarakat Indonesia untuk melakukan perubahan sistem pemilu.
Perlu dilakukan sosialisasi dan pengarahan yang intensif kepada masyarakat tentang bagaimana cara untuk melakukan pemungutan suara dengan metode lain selain paku. (*)
Editor : Tomi Indra Priyanto