CIREBON,iNewsIndramayu.id - Nadlatul Ulama (NU) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengeluarkan fatwa haram terhadap proses pernikahan secara siri atau nikah di bawah tangan. NU menegaskan, pernikahan siri tanpa diafirmasi negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat.
"Sekalipun sudah memenuhi semua persyaratan nikah yang diatur dalam negara. Misalkan seperti adanya wali, kedua mempelai, ijab kabul, dua orang saksi, dan mas kawin. Kecuali dalam beberapa kasus," tegas Ketua Lembaga Bahstul Masa'il (LBM) PCNU Kabupaten Cirebon, KH Imam Nawawi kepada wartawan, Selasa (7/3/2023).
KH Imam Nawawi mengatakan, keputusan itu merupakan hasil perumusan fatwa lembaga Bahstul Masa'il (LBM) PCNU Kabupaten Cirebon melalui pembahasan di Pesantren Gedongan Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon pada Kamis (2/3/2023). Pembahasan saat itu melibatkan 100 lebih kiai perwakilan dari 19 PCNU se Jawa Barat, perwakilan dari 31 kecamatan se Kabupaten Cirebon, dan beberapa kiai dari unsur pesantren di lingkungan Kabupaten Cirebon.
Menurutnya, nikah siri tidak dibenarkan oleh syariat, dilatarbelakangi dinamika sosial dan aturan negara. Sejauh ini yang menunjukkan realitas nikah siri, justru berpotensi melahirkan dampak negatif secara serius.
"Mulai dari keturunan yang tidak diakui negara, sehingga menyulitkan hukum waris. Bahkan sampai tidak adanya pembelaan negara dalam menangani sengketa rumah tangga akibat nikah siri," terangnya.
Bahkan dalam kasus-kasus umum, lanjutnya, jika terjadi pertentangan dampak nikah siri dengan putusan KUA atau pengadilan agama, sepanjang secara prinsip tidak bertentangan dengan ijma' ulama (konsensus ulama) dan qiyas jaliy (analogi hukum yang jelas dari sumber hukum Islam), putusan KUA dan atau pengadilan agama, didahulukan.
Ia menyebut, nikah siri bisa terjadi akibat pihak keluarga yang tidak merestui hubungan atau pilihan anaknya. Sehingga, tak jarang sang anak melakukan pernikahan tanpa melibatkan KUA.
Seperti sejauh ini yang terjadi di banyak kasus, wali mujbir atau orang yang memiliki hak menikahkan perempuan yang ada dalam kekuasaannya tanpa izin dan ridha dari perempuan tersebut, tidak mau menjadi wali dalam pernikahan anak perempuannya. Atau bisa jadi praktik nikah srri, kata dia, terjadi akibat faktor ekonomi, yakni ketidakmampuan membayar administrasi negara karena beban-beban yang tidak lazim.
Menurut KH Imam Nawawi, nikah siri memungkinkan terjadi akibat belum cukup usia sesuai yang diatur dalam UU pernikahan. Sehingga mendapat penolakan dari KUA.
"Sementara, dengan dalih untuk menyelamatkan anak dari pergaulan bebas, atau menyelamatkan nama baik keluarga akibat hamil di luar nikah, pihak keluarga menikahkan dengan cara nikah siri," tandasnya.
Bahkan, nikah kontrak juga memberi kontribusi besar dalam praktik menikahkan secara siri, seperti yang pernah mencuat di beberapa daerah di wilayah Indonesia. Pihaknya kembali menegaskan, apapun alasannya menurut fatwa rumusan hasil Bahstul Masa'il, nikah siri dalam konteks Indonesia tidak dibenarkan dalam agama.
Karena praktik semacam itu di wilayah hukum negara Indonesia berpotensi melahirkan dampak negatif yang serius bagi keturunan dan hubungan rumah tangganya. Selain didasari kaidah hukum al haakim yarfau' al ikhtilaf (putusan hakim menafikan seluruh pendapat lainnya).
Juga dalam rumusan kaidah fikih, sambungnya, terdapat prinsip al dhararu yuzaalu (kemudaratan-kemudaratan harus dihapus dari hukum syariat). Apalagi nikah kontrak, di mana syariat secara tegas mengharamkan karena tidak memuat tujuan melanggengkan sebagaimana prinsip dasar tujuan sebuah pernikahan.
Meski demikian, ada beberapa kasus nikah siri yang dianggap sah. Seperti halnya nikah yang dilakukan akibat konsekuensi adanya penolakan dari KUA. Alasannya karena belum cukup usia.
"Sekalipun menurut hasil Bahstul masa'il tersebut, praktik nikahnya tetap dianggap sebagai tindakan haram. Sebagaimana analogi dalam kasus transaksi jual beli pada saat adzan Jumat sudah berkumandang. Ulama fikih sepakat, transaksinya sah tetapi tindakan jual belinya tetap haram," pungkasnya.(*)
Editor : Tomi Indra Priyanto