GARUT, iNewsIndramayu.id – Harga bahan kimia untuk industri kulit yang naik berkali-kali lipat dikeluhkan para pengusaha di Kabupaten Garut. Meroketnya harga bahan kimia yang telah berlangsung selama kurang lebih satu tahun itu merupakan dampak dari perang Rusia-Ukraina.
Wakil Ketua Bidang Pemerintahan DPD Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) Garut, Sukandar, menjelaskan bila kenaikan harga bahan kimia telah memukul sektor industri kulit. Seluruh tingkatan mulai kategori besar hingga rumah tangga dalam industri kulit tertekan oleh kenaikan harga bahan kimia.
"Kurang lebih dalam satu tahun ini, sangat terasa karena di sisi bahan kimia itu semua barangnya 90 persen impor. Memang diimpor dari negara-negara seperti Eropa, Amerika, lalu ada dari Asia juga, tapi bahan baku kimianya diambil dari Ukraina," kata Sukandar pada MNC Portal Indonesia (MPI), Kamis (18/5/2023).
Situasi perang, lanjutnya, telah menghambat proses produksi dan pengiriman bahan baku kimia dari Ukraina. Akibat hambatan inilah pasokan bahan baku menjadi langka sehingga mengakibatkan pada naiknya harga.
"Kita hitung-hitungan saja, misal proses krom, krom dulu harganya cuma Rp22.000-Rp24.000 per kilo. Sekarang krom harganya sudah di Rp38.000-Rp42.000. Lalu pewarna pigmen, cat untuk finishing, kemarin beli 8 ons itu Rp200 ribu. Sedangkan sebelumnya, jangankan 8 ons, sebelum perang di ukraina itu harganya Rp125 ribu per satu kilo," ungkapnya.
"Kalau kita coba konfersi, berapa persen kenaikannya, bisa mencapai ratusan persen itu. Tentu sangat memberatkan sekali," tambahnya.
Sukandar yang juga memiliki usaha di bidang industri penyamakan kulit ini mengaku, dengan harga baru ini ia bisa mengalami kerugian hingga jutaan rupiah jika kapasitas produksi tetap sama seperti sebelum perang. Untuk menyiasatinya, para pengusaha hingga pengrajin kulit seperti dirinya mengurangi jumlah produksi.
"Ternyata lumayan juga ruginya, dari kenaikan kimia rugi bisa mencapai Rp10 juta untuk produksi 200 lembar kulit kambing. Makanya sekarang produksi dikurangi, pengusaha dan pengrajin kulit lain juga begitu," ungkapnya.
Menurutnya, perang Rusia-Ukraina bukan satu-satunya penyebab dari turun drastisnya kapasitas produksi industri kulit. Sukandar menyebut pandemi Covid-19 yang merebak pada dua tahun lalu telah membuat dari industri kulit lesu.
"Sekarang karena perang, sebelumnya Covid-19. Sebenarnya produksi memang sudah menurun sejak pandemi. Sebagai contoh, seorang pengusaha dahulu bisa produksi 200 lembar, namun sekarang hanya 50 lembar. Produksi 50 lembar ini pun membuat kami was-was, apakah akan terjual semua," paparnya.
Para pengusaha hingga pengrajin, kata dia, berada di situasi sulit. Pasalnya kondisi daya beli masyarakat terhadap produk kerajinan kulit masih rendah.
"Di satu sisi harga kimia naik, di satu sisi terkait masalah penjualan barang," ucap Sukandar.
Dia pun berharap pemerintah dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha industri kulit.
"Harus ada peran pemerintah bagaimana caranya agar bahan kimia ini jangan sampai drastis kenaikan harganya, dibantu seperti apa solusinya. Apakah nilai pajak masuk dari bahan kimia yang diimpor bisa dikurangi. Sebetulnya banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah pusat," tutupnya. (*)
Editor : Tomi Indra Priyanto