GARUT, iNewsIndramayu.id - Wildatul Muzjalipah (19), gadis asal Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, yang ijazahnya hilang di sekolah, tinggal dalam sebuah rumah kontrakan petak kumuh memprihatinkan. Bersama orang tua dan dua adiknya, Wilda sapaan akrabnya, mengontrak di rumah yang kurang lebih berukuran 3x7, pada gang sempit Kampung Mekarwangi RT03 RW12, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul.
Ayah Wilda, Koswara (51), sehari-hari berprofesi sebagai petugas kebersihan yang memungut sampah rumah tangga di Kampung Mekarwangi. Penghasilan sehari-harinya tak menentu, bergantung dari pemberian warga yang sampahnya ia angkut.
"Diberi seikhlasnya saja, saya terima," ucap Koswara, pada MNC Portal Indonesia (MPI) saat ditemui di rumah kontrakannya, Jumat (26/5/2023).
Koswara mengaku penghasilan seadanya sebagai petugas pemungut sampah tak seberapa. Sementara ia harus menghidupi isteri dan ketiga anaknya.
Ia juga harus membayar sewa rumah petak sebesar Rp500 ribu per bulan. Belum lagi mesti membayar sejumlah keperluan lain sehari-hari.
"Untuk mencukupi berbagai kebutuhan ini, saya bekerja menarik becak motor ke Pasar Guntur. Setiap hari jam 02.00 WIB pagi mangkal di pasar, kerja sampai jam 06.00 WIB, yang dilanjut memungut sampah di lingkungan rumah-rumah sini," katanya.
Penghasilan dari menarik becak motor itu pun tak pasti. Jika ada yang membutuhkan jasanya, Kuswara bisa membawa sejumlah uang ke rumah untuk keluarganya.
"Jika tak ada yang naik becak motor, maka saya tidak mendapat uang. Seperti tadi subuh saya tidak membawa uang karena tak ada orang yang naik becak. Kalau lagi banyak yang naik, pernah dapat Rp80 ribu dari menarik becak motor," ucapnya.
Tidak banyak barang rumah tangga di kontrakan tersebut. Kontrakan mereka tak lebih seperti satu kotak ruangan yang disekat pada bagian pojok untuk kamar tidur.
Meski tampak sederhana, kontrakan ini dilengkapi dapur dan kamar mandi. Karena sederhana itulah kondisi dapur serta kamar mandi tempat tinggal Wilda dan keluarga pun tampak seadanya.
Satu kasur busa lusuh tersandar pada dinding ruang utama dari rumah yang tak memiliki kursi itu. Adanya kasur ini menyiratkan jika ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu rumah kontrakan tersebut, juga digunakan sebagai kamar tidur kedua di malam hari.
Selain kasur, di ruang tamu itu tersimpan televisi tabung yang memiliki ukuran 17 inch. Satu lemari kayu berwarna cokelat berdiri tegak pada sudut ruangan, persis di samping televisi.
Alas rumah kontrakan ini terbuat dari lantai semen. Agar tidak dingin saat duduk di ruang tamu, keluarga ini menggunakan karpet kain usang yang kotor.
Minimnya ventilasi serta lubang cahaya di rumah tersebut membuat suasana dalam ruangan pengap dan gelap. Namun karena mereka telah terbiasa dengan kondisi tersebut, hal itu bukanlah masalah.
"Anak saya tiga. Wilda yang lulus sekolah tahun kemarin (2022) merupakan anak pertama. Anak saya yang kedua juga perempuan, putus sekolah sejak kelas tiga SMP, usianya beda satu tahun dengan Wilda. Yang bungsu, anak laki-laki. Baru saja lulus kelas 6 SD," ungkap Koswara memperkenalkan anak-anaknya.
Koswara kemudian menceritakan soal tunggakan yang harus ia bayar ke sekolah. Saat ini, tunggakan yang belum dibayar sebesar Rp3,25 juta.
Tunggakan ini merupakan sisa dari uang sumbangan yang totalnya mencapai Rp5 juta. Uang tersebut harus dibayar saat Wilda masuk mendaftar ke SMAN 6 Garut.
"Namun karena saat itu saya melampirkan keterangan bahwa kami berasal dari keluarga tidak mampu, ada kebijakan dari sekolah bahwa sumbangan yang harus dibayar jadi setengahnya saja, yaitu Rp2,5 juta. Karena saya tidak punya cukup uang, saya memilih mencicil dan akhirnya menunggak," kata Kuswara.
Namun alangkah kagetnya, setelah anaknya masuk sekolah, tagihan uang sumbangan itu tetap sebesar Rp5 juta. Potongan yang dijanjikan di awal-awal seolah tak berlaku.
"Saya sudah meminta dan mempersilakan pihak sekolah untuk datang ke rumah, mengecek kontrakan rumah kami. Tapi sejak Wilda kelas 1 hingga lulus kelas 3, tidak ada yang datang melihat kondisi keluarga kami. Tagihan tetap Rp5 juta, hingga saya pasrah dan berusaha mencicil. Yang sudah dibayarkan Rp1,75 juta, jadi tinggal Rp3,25 juta lagi," ungkapnya.
Menjelang masa sekolah Wilda selesai, tunggakan atas uang sumbangan itu belum juga sempat ia lunasi. Sebab Koswara kesulitan untuk mengumpulkan uang karena telah dipusingkan oleh beban kehidupan sehari-hari.
"Ijazah Wilda belum diambil karena ada tunggakan itu, bahkan sampai anak saya dinyatakan lulus. Baru kemarin-kemarin, ketika ada panggilan kerja barulah saya memberanikan diri untuk mengambil sambil menebus sisa tunggakan. Tapi ternyata ijazahnya hilang karena katanya sudah ada yang mengambil," katanya.
Pihak sekolah, lanjutnya, saat itu hanya memberikan fotokopi ijazah Wilda, seraya menunjukan bukti bahwa ijazah asli telah diambil seseorang.
"Sekolah hanya menunjukan bukti bahwa ijazah sudah diambil. Ada tanda tangannya, oleh siapa, saya juga tidak tahu. Tidak ada nama jelas penerima di bawah tanda tangan itu. Terlebih saya juga tidak tahu itu tanda tangan siapa," ucapnya.
Koswara hanya berharap puteri pertamanya itu mendapat ijazah asli sesuai dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya.
"Saya hanya tamatan SD. Setidaknya, anak saya bisa sekolah sampai SMA saja sudah merupakan kebanggaan untuk saya dan keluarga. Harapan kami Wilda mendapatkan ijazah yang asli karena itu sangat berarti, sebab bisa digunakan untuk masa depannya, untuk mencari kerja," katanya.
Koswara mengaku telah mendapat solusi atas masalah yang menimpa anaknya. Ia disarankan untuk melapor kepada polisi, guna mendapat surat kehilangan yang berfungsi agar pihak sekolah membuatkan surat keterangan pengganti ijazah.
"Saya nanti akan lapor polisi. Jika ditanya hilang di mana, saya juga bingung karena hilangnya di sekolah. Tapi saya akan mencoba mengusahakannya untuk melapor," ujarnya.
Koswara dan keluarganya merupakan warga penerima bantuan sosial dari pemerintah. Mereka tercantum dalam daftar penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
"Hanya bantuan uang kami terima, besarannya Rp700 ribu per bulan. Sekarang kami tidak menerima bantuan ini lagi, terakhir menerima di tahun 2020 lalu kalau tidak salah," katanya.
Sementara itu, tokoh masyarakat di Kampung Mekarwangi, Cecep Mafsudin, membenarkan jika Wilda dan keluarganya termasuk ke dalam kelompok keluarga tak mampu. Pria pensiunan polisi itu mengungkapkan jika Koswara kerap meminta bantuannya jika keluarga mereka tak mampu membeli beras.
"Kadang-kadang mereka meminta bantuan pada kami untuk membeli beras. Maklum, Wilda berasal dari keluarga yang tidak mampu," kata Cecep Mafsudin.
Selama mengenyam pendidikan di SMAN 6 Garut, Wilda terbilang sebagai anak yang cerdas. Wilda yang lahir pada Januari 2004 lalu itu memiliki nilai rata-rata 88,92 dari seluruh pelajaran sekolahnya.
Untuk diketahui sebelumnya, persoalan hilangnya ijazah Wilda di sekolah telah mendapat respons berbagai pihak. Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat hingga anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Garut bahkan menilai permasalahan itu terjadi karena sekolah telah lalai dan teledor.
"Itu kelalaian. Kenapa pihak sekolah tidak menanyakan siapa identitas yang mengambil ijazah saat penyerahan dilakukan," kata anggota Komisi V DPRD Provinsi Jabar Enjang Tedi Rabu 24 Mei 2023.
Hal yang sama diutarakan Dedi Kurniawan, anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Garut. Ia menyatakan sekolah melakukan keteledoran karena menyerahkan ijazah pada seseorang yang tidak jelas.
"Hilang ijazah ini merupakan keteledoran pihak sekolah. Sebab pengambilan ijazah harus oleh siswa yang bersangkutan, karena harus cap jempol tiga jari, sementara sekolah memberikan ijazah kepada pihak lain yang tidak jelas identitas nya," ujar Dedi Kurniawan.
Menanggapi masalah tersebut, Bidang Kurikulum SMAN 6 Garut Taofik Ramdani, membenarkan pihaknya telah menerima keluhan dari salah satu alumni terkait kehilangan ijazah. Ia menyebut ijazah milik Wildatul Muzjalipah (19) sudah ada yang mengambil, bahkan tertera tanda tangan dalam buku serah terima ijazah SMAN 6 Garut.
"Pihak sekolah tidak menyalahkan keluarga, tapi silahkan cek lagi barangkali ada dari keluarga yang mengambil," ujar Taofik Ramdani. (*)
Editor : Tomi Indra Priyanto